H. Andi Hasan Manggabarani (Bupati Polwali Mamasa, 1960-1965)
Banyak orang tak menduga ketika Polewali Mamasa menjadi satu kabupaten bakal dipimpin seorang tokoh sipil. Saat itu daerah ini masih rawan konflik bersenjata. Suasana genting menyelimuti ham pir di semua kecamatan dalam kabupaten ini. Tapi sejarah telah menulis namanya: Andi Hasan Manggabarani menjadi Bupati Polewali Mamasa yang pertama.
TRANSTIPO.com, Mamuju – Andi Bilu Manggabarani menikah dengan Andi Tannawali, saudara Pa’bicara Binuang. Dari perkawinan ini lahir Andi Hasan Manggabarani dan Andi Rivai. Andi Bilu Manggabarani menetap di Polewali, ia juga pernah menetap di Majene. Saat menetap di Majane, anaknya masuk sekolah rakyat (SR) hingga tamat HIS (sekolah Belanda setingkat SMP). Sejak itu Andi Hasan kerap bolak-balik Polewali-Majene memakai sepeda.
Andi Hasan Manggabarani melanjutkan sekolah lanjutan atas di SMA Katolik Makassar. Hasyim Manggabarani, anak pertama Hasan Manggabarani bercerita kepada penulis pada pertengahan tahun 2005 di rumahnya, dekat Pantai Bahari Polewali.
Hasan Manggabarani termasuk salah satu siswa HIS Majene yang cerdas dalam pelajaran di kelas. Ia cepat menerima dan menguasai bahasa asing: Inggris, Jepang, dan Belanda. Andi Hasan juga cepat fasih dalam beberapa bahasa daerah, seperti Makassar, Bugis, Mandar, dan Toraja. Pelajaran eksakta terutama mata pelajaran Aljabar rata-rata nilai 10.
Di akhir sekolah nilai ijazahnya bagus. Lulus SMA Hasan Manggabarani bergabung dalam perjuangan Kris Muda Mandar, wadah perjuangan rakyat Mandar dalam melawan pemerintahan Belanda. Lantaran aktivitasnya ini membuat tentara Belanda gerah, Andi Hasan kemudian ditangkap oleh tentara Belanda dan dipenjarakan di Majene. Penahanan dirinya tak berlangsung lama, ia dibebaskan dari tahanan pada tahun 1948.
Sejak keluar dari penjara, secara perlahan-lahan Andi Hasan mulai menggeluti dunia usaha. Ia mendirikan lembaga bisnis di Polewali yang bergerak di bidang konstruksi, sekalian belajar sebagai kontraktor baik infrastruktur maupun bangunan. Tanggul sepanjang Pantai Bahari Polewali adalah salah satu bangunan yang dikerjakan perusahaan milik Andi Hasan Manggabarani. Ia juga dipercaya membangun kantor Korem di Parepare, Sulawesi Selatan.
Keluarga Andi Hasan Manggabarani sebenarnya telah memutuskan pindah ke Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur. Anak-anaknya sudah lebih dulu diantar ke Surabaya. Seiring waktu itu terjadi pembentukan daerah baru atau Dati II dan sejumlah pihak meminta Andi Hasan Manggabarani untuk membatalkan niat hengkang ke Pulau Jawa.
Setelah Kewedanaan Polewali dan Kewedanaan Mamasa ditingkatkan statusnya menjadi Daerah Tingkat (Dati) II Polewali Mamasa (Polmas), banyak kalangan meminta Andi Hasan Manggabarani untuk memimpin daerah ini. Aspirasi itu sampai ke telinga Gubernur Sulawesi Selatan Andi Pangeran Pettarani di Makassar. Selain aspirasi dari Polewali, Gubernur Sulawesi Selatan juga mempertimbangkan gerakan bersenjata di kawasan Mandar yang dipimpin Andi Selle, seorang perwira tentara desersi— keluar dari barisan dan melakukan pergerakan bersenjata.
Keinginan Andi Pangeran Pettarani mengangkat Andi Hasan Manggabarani sebagai Kepala Daerah Dati II Polmas sebab saudaranya, Andi Rivai sedang menjabat Komandan Resimen Tentara di Parepare. Dalam hemat AP Pettarani, sudah barang tentu Andi Selle tak akan leluasa mengganggu jalannya pemerintahan di Polmas ketika dipimpin oleh Andi Hasan Manggabarani.
Pertimbangan lainnya, pendidikan Andi Hasan dianggap cukup memadai untuk memimpin sebuah daerah baru. Tahun 1960 Gubernur Sulawesi Selatan Andi Pangeran Pettarani secara resmi melantik Andi Hasan Manggabarani sebagai Kepala Dati II Polmas (Kabupaten Polmas).
Di antara anak-anaknya yang sudah lebih dulu ber angkat ke Surabaya dipanggil pulang ke Polewali. Usaha yang telah dirintis dan sudah mulai menggeliat di Surabaya pun dibatalkan. Andi Hasan Manggabarani memilih konsentrasi mengabdi di kampung halamannya daripada mengembangkan bisnis di daerah orang.
Bupati Hasan Manggabarani melakukan penataan pembangunan Kabupaten Polmas. Kawasan Pekkabata dijadikan pusat per kantoran pemerintahan. Secara perlahan membuka jalan terutama ka wasan yang ma sih terisolasi seperti di daerah pegunungan. Selaku pejabat tinggi kabupaten, Hasan Manggabarani menjadikan jabatan yang disandangnya jalan mempererat dengan lingkungannya.
Suasana pemerintahan kabupaten yang dipimpinnya sengaja dicip takan dalam iklim kekeluargaan. Ia tak membeda-bedakan pelbagai unsur masyarakat yang mendiami Kabupaten Polmas. Di tengah keluarga besarnya, ia tanamkan kepemimpinan yang religius. Yang tua menghargai yang muda, yang muda hormat kepada yang tua. Di malam hari, atau ketika tiba waktu magrib, ia mengajak anak-anaknya untuk melakukan salat magrib secara berjamaah di rumah.
Setiap malam ia mengawasi anak-anaknya untuk belajar, kecuali malam minggu sengaja dibiarkan anak-anaknya bersantai bersama kawankawannya, bahkan ia bekali uang jajan untuk belanja-belanja sesukanya. Sejak kecil anak-anaknya sudah diajar disiplin baik beribadah maupun pelajaran sekolah.
“Ini modal kami yang sangat berarti di kemudian hari,” kata Hasyim Manggabarani bersyukur atas didikan ayahnya itu.
Hasan Manggabarani menjadikan silaturahmi hal yang penting. Di luar dinas ia kerap berkunjung ke rumah kerabatnya untuk sekadar menyapa dan melihat keadaannya. Dan sesekali pula ia berkunjung ke rumah bawahannya. Bagi Bupati Hasan, ini adalah salah satu cara terkecil dan sederhana untuk mengeratkan hubungan antara atasan dan bawahan. Dengan cara yang sederhana itu, Hasan Manggabarani kemudian tak sulit mempersatukan pelbagai sub-sub-etnik yang bermukim di kabupaten yang dipimpinnya.
Seiring waktu saat terbentuknya Kabupaten Polmas atau Daerah Tingkat II Polmas, masyarakat yang mendiami empat kecamatan di pegunungan (Mamasa, Mambi, Sumarorong, dan Pana’) pun telah menginginkan hasrat yang sama dan menuntut pendirian kabupaten sendiri, Kabupaten Mamasa.
Dasarnya adalah eks Kewedanaan Polewali dan eks Kewedanaan Mamasa tak seharusnya digabung jadi satu kabupaten melainkan Polewali dan Mamasa seharusnya menjadi kabupaten yang terpisah. Bupati Polmas Hasan Manggabarani memahami tuntutan warga dari pegunungan, sebab hal itu merujuk pada sejarah awal berdirinya daerah otonom di tingkat kabupaten tahun 1959.
Bupati Hasan kemudian melakukan pendekatan kekeluargaan kepada tokoh-tokoh di pegunungan. Hasan Manggabarani berkali-kali mengapresiasi tuntutan itu dengan meng ungkapkan bahwa suatu waktu —jika segala yang dipersyaratkan sudah dibenahi— kabupaten baru di pegunungan akan terbentuk.
Bupati pertama Kabupaten Polmas ini memandang penting mem bangun hubungan baik dengan pelbagai pejabat di tingkat Provinsi Sulawesi Selatan. Bupati Hasan memiliki modal sosial untuk itu sebab banyak pejabat di Pemerintahan Sulawesi Selatan akrab dengannya, bahkan tak sedikit bu pati seangkatannya memiliki pertalian darah dengan keluarga besar Manggabarani.
Kalau bukan Hasan Manggabarani yang berkunjung ke kabupaten lain untuk menemui kawan atau kerabatnya yang tengah memimpin, terkadang pula kepala-kepala daerah dari kabupaten lain yang datang ke Polewali menemuinya walau sekadar bersenda gurau. Inilah pentingnya silaturahmi.
Dalam hal pembenahan daerah masing-masing, mereka sering bertukar informasi. Salah satu informasi yang sangat membantu bupati-bupati di Sulawesi Selatan kala itu adalah tentang adanya proyek pembangunan daerah tertutup. Salah satu implementasi dari dana proyek seperti itu, bupati kemudian mengalokasikan beberapa persen untuk beasiswa bagi mahasiswa Polmas yang sedang menuntut ilmu di Makassar dan di Pulau Jawa.
Sebelum masa jabatannya sebagai Bupati Polmas berakhir, Hasan Manggabarani sudah lebih dulu menyampaikan kepada gubernur Sulawesi Selatan untuk diberhentikan. Tetapi, gubernur punya pertimbangan lain sehingga permintaannya itu tak dikabulkan.
Sementara di masa itu, atau menjelang periodenya berakhir, sekelompok mahasiswa dan masyarakat meminta Bupati Hasan untuk mundur dari jabatannya. Hasan Manggabarani tegar menghadapi tuntutan itu dengan menjelaskan bahwa ia sudah pernah menghadap ke gubernur Sulawesi Selatan untuk diproses penggantian dirinya sebagai Bupati Polmas.
Isu politik yang beredar seputar tuntutan memintanya mundur mengerucut pada dua hal. Pertama, Hasan Manggabarani dianggap bukan representasi masyarakat Mandar. Padahal jika ia harus membela diri soal darah kedaerahannya, kedekatan histori dan emosionalnya dengan Binuang sudah bisa menjawab isu miring itu.
Kedua, Andi Hasan Manggabarani dianggap berhaluan politik Orde Lama, sementara ketika itu sudah marak terjadi pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru. Mempersepsikan hubungan Hasan Manggabarani dengan Orde Lama terkait posisinya sebagai Ketua Partai PNI 1945. Sejumlah pihak menganggap partai PNI warisan Orde Lama dengan pendirinya adalah Presiden RI pertama, Ir. Soekarno.
Begitulah rekayasa politik masa itu. Setelah waktunya tiba jabatan Bupati Polmas sudah tak lagi di pundak, Hasan Manggabarani kemudian kembali menekuni bisnis. Selama lima tahun ia menetap di Jakarta dan mengelola usaha di bawah bendera CV Hayam Wuruk.
Di perusahaan itu Hasan menangani administrasi sebab memang ia mahir di bidang akuntansi dan tata buku. Ia juga pernah diminta oleh salah seorang pengusaha Indo-Tionghoa di Parepare untuk melanjutkan usahanya sebab pemilik perusahaan ini akan hengkang ke luar negeri, tetapi Andi Hasan Manggabarani menolak.
Ketika sudah menetap kembali di Kota Makassar, Sulsel, Hasan Manggabarani diminta untuk tinggalkan Partai PNI dan bergabung di Sekber Golongan Karya, sekalian dengan itu akan diberi posisi kepala keuangan di pemerintahan Provinsi Sulawesi Selatan.
Apa reaksi Andi Hasan Manggabarani? Ia hanya bilang, “PNI kan bukan partai terlarang.” Hasan Manggabarani menikmati masa tuanya sebab anak-anaknya sudah tumbuh dewasa dan bergelut pada pekerjaan sesuai profesinya masing-masing.
Dari gelar yang disandang anak-anaknya membuktikan bahwa Hasan Manggabarani berhasil mendidik dan mengayomi mereka hingga menapak sekolah tinggi. Penghormatan warga di mana pun ia berada adalah bukti sahih kebaikan dan kedekatan sang pemimpin ini kepada lapisan warga.
Di suatu waktu di rumahnya di Jalan Sungai Klara Nomor 2, Makassar, Andi Hasan Manggabarani mengutarakan hendak menjual rumahnya itu. Ketika warga yang tinggal di Sungai Klara tahu, mereka spontan beramairamai mengutarakan penolakannya kepada sang pemilik rumah. Para tetangganya sudah menganggap rumah milik Hasan Manggabarani itu seperti rumah milik bersama.
“Kenapa mau dijual? Kan, Puang bukannya sedang dalam keadaan susah! Kami tidak setuju jika Puang jual rumah lalu pindah dari Sungai Klara,” begitu warga bersikukuh mempertahankan rumah itu.
Yang paling penting dari mereka mempertahankan rumah itu agar keluarga Hasan Manggabarani tetap tinggal di Sungai Klara. Ada warga yang mengusulkan kalau sekadar mau dirombak seluruh tetangga bersedia menanggung pengerjaannya hingga selesai.
Keinginan mereka nama Andi Hasan Manggabarani harus tetap ter sampir di daun pintu rumah. Apa sebetulnya yang membuat warga bertahan rumah milik Andi Hasan Manggabarani tak perlu dijual? Keder mawanan dan kebaikan hati sang pemiliknya adalah jawabannya.
Contohnya, setiap kali Hasan Manggabarani tiba dari Polewali, urusan yang paling pertama dilakukan setibanya di Jalan Sungai Klara adalah membagi-bagikan bawaannya seperti buah langsat, durian, pisang, dan kelapa kepada segenap warga.
Setelah itu barulah ia masuk rumah beristirahat. Memori inilah yang selalu diingat warga Sungai Klara. Tahun 1999, satu tahun setelah Hasyim Manggabarani dilantik sebagai Bupati Polmas, Andi Hasan Manggabarani menghembuskan napasnya yang terakhir di rumahnya di Kota Polewali.
Di tempat peristirahatannya yang terakhir Andi Hasan Manggabarani akan tenang, 12 orang anaknya (8 orang laki-laki dan 4 orang perempuan) kini telah sukses. Anak dan cucunya menyebar di pelbagai pelosok Nusantara mengabdi untuk keluarga dan bangsanya. Inilah buah pendidikan yang diterapkan seorang ayak kepada anak-anaknya, menjadi Rahmat dan suri teladan.
Sumber: Buku Jejak Langkah dan Pemikiran Bupati di Sulawesi Barat, 1960-2023 (Penerbit Buku Kompas, Desember 2023).
SARMAN SAHUDING