Megawati Soekarnoputri puji kepemimpinan AAS selama 10 jadi Gubernur Sulbar. “Sayang jika apa yang sudah baik di Sulbar ini tidak dilanjutkan,” kata Megawati Soekarnoputri.
TRANSTIPO.com, Mamuju – Ketua DPD Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Sulbar Agus Ambo Djiwa beri sambutan di hadapan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri dan lima ribuan kader PDIP Sulbar di Ballroom d’Maleo Hotel & Convention Mamuju, sore tadi, Senin, 30 Januari 2017.
Agus sebagai punggawa acara Rapat Konsolidasi 3 Pilar PDIP se-Sulbar pada Senin ini. Acara inilah yang sengaja dihadiri langsung oleh Ketum PDIP Megawati bersama rombongan DPP PDIP dari Jakarta.
Untuk kali pertama Presiden Indonesia ke-5 ini hadir di Mamuju, ibu kota Provinsi Sulbar—sebuah provinsi muda yang lahir berkat Megawati. Setelah meninggalkan Bandar Udara Tampa Padang, Mamuju, jalur penerbangannya dari Manado, Sulut, mbak Mega langsung diantar ke Hotel Maleo.
Usai waktu lohor, putri sulung Proklamator Bung Karno ini makan siang di salah satu ruang pertemuan mini di hotel yang bertengger di bibir pantai Mamuju itu.
Tepat pukul 15.00 Wita, Megawati Soekarnoputri dan rombongan memasuki ballroom hotel sebagai tempat acara Rapat Konsolidasi 3 Pilar. Beberapa menit mendahului, telah hadir Sekprov Sulbar Ismail Zainuddin, mewakili Pj. Gubernur Sulbar Carlo Brix Tewu.
Tak lama setelah itu hadir Ali Baal Masdar (ABM) disusul Hj. Enny Anggraeni Anwar bersama suaminya Anwar Adnan Saleh (AAS).
“Merdeka, Merdeka, Merdeka…….” pekik ribuan kader PDIP dalam ruang berpendingin itu dengan keras sekali sejak IZ, ABM, Enny, dan AAS memasuki ruangan.
Nyaris sudah tak tersisa lagi sejumput ruang kecil sebagai jalan di sela-sela kursi yang diduduki sejumlah kader oleh segerombolan wartawan dan pengawal ketika Megawati Soekarnoputri memasuki ruangan utama.
Penuh sekali. Sesak. Padat. Para wartawan yang hendak mengambil foto dari dekat mundur jongkok tertatih-tatih. Megawati Sokarnoputri benar-benar inspiratif. Idola. Seorang ibu yang bersahaja. Langkahnya yang landai, perlahan. Terkadang ia menunduk.
Tapi, ‘suaranya’ Megawati adalah instruksi partai yang mutlak dilaksanakan oleh kader PDIP se-Indonesia. ‘Diamnya’ Megawati adalah ‘kekuatan’ partai yang tak seorang pun—jika sudah begitu—yang bisa membuat Megawati ‘bicara’.
Sejak tahun 80-an, Megawati Soekarnoputri—tentu bersama KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur—adalah simbol utama konsolidasi demokrasi Indonesia, yang kemudian mewujud menjadi reformasi nasional yang tonggaknya membuncah pada 1998.
Hari ini, memang ibu Megawati sudah leluasa bergerak ‘membangun’ dan memperkuat pondasi demokrasi Indonesia. Dulu, di masa Orde Baru, ia dikekang. Ditekan. Bahkan—nyaris—‘dihabisi’ secara politik, tentunya.
RISMAN SAPUTRA/SARMAN SHD