Ladang subur disertakan kekayaan tersimpan di dalamnya dikeruk pemiliknya hingga nyaris habis. Yang disisakan malah tinggal masalah.
DI TENGAH gemerlap dan kilau alam memesona, Kabupaten Mamasa menjadi saksi kekuasaan yang menggurita dari pemimpinnya.
Pemimpin dengan ambisi tak terbatas menjadikan daerah ini sebagai medan pertempuran kekuasaan yang tak kunjung reda.
Setiap kali pesta demokrasi dirayakan saat itu pula Mamasa menjadi korban sekaligus sebagai saksi bisu atas keserakahan mereka itu.
Kerakusan pemimpin Mamasa tercermin dari cara memanipulasi sistem demi keuntungan pribadi. Mereka menyalahgunakan kepercayaan rakyat, mengorbankan kesejahteraan masyarakat untuk memperkaya diri dan kelompoknya.
Proyek-proyek pembangunan yang seharusnya menjadi berkah bagi daerah, justru dijadikan sarana mengalirkan dana ke saku mereka.
Selain itu, kekuasaan pemimpin Mamasa juga terwujud dalam intimidasi bagi siapa pun menentangnya. Suara kritis yang menuntut keadilan dibungkam, pun diembeli fitnah.
Suara-suara kritis yang seharusnya menjadi imun kekuasaan dibongsai, bahkan dipatahkan dengan kejam demi mempertahankan kekuasaan yang materialistis rakus
Ketidakadilan yang dihasilkan oleh kerakusan pemimpin-pemimpin Mamasa telah meracuni jiwa daerah ini. Kesengsaraan dan ketidakpuasan merajalela di antara penduduk yang merasa terpinggirkan oleh sistem yang korup. Masyarakat lebih percaya pada desas-desus ketimbang kepercayaan kepada pemimpin.
Hujan yang terus-menerus tanpa henti seolah mengirim pesan bahwa daerah ini sedang menangis, bencana alam tak berhenti perranda isyarat tanah ini sedang marah.
Kesedihan terpangpang jelas di wajah anak-anak daerah yang putus sekolah lantarqn himpitan ekonomi keluarga. Mimpi-mimpi indah mereka hilang seketika akibat keserakahan mereka yang kejam itu.
Para lansia menjalani hidup masa tua apa adanya. Ratapan masa lalunya adalah nostalgia pelengkap pelipur lara.
Jika ini kegelapan, harapan tetaplah menyinpan cela yang membara, menanti sinar keadilan dan membawa kedamaian bagi Mamasa yang terdzalimi.
Entahlah, apakah itu terwujud kelak. Atau bahkan tidak sama sekali.
Selamat menyambut hari riang gembira nan Fitrah.
Penulis adalah Ketua GEMA-PUS Sulawesi Barat