Penulis: Tomi Lebang
SENIN sore selepas Ashar. Angin berhembus sejuk, cuaca yang cerah, dan awan-gemawan berarak di langit yang terang, saat saya tiba di bukit ini — kampung Macassar Faure di pinggir kota Cape Town, Afrika Selatan. Dan keharuan segera datang merebak.
Sampai juga saya di sini, di gerbang pagar bangunan putih kecil berkubah hijau, tempat bersemayam jazad tokoh yang namanya sudah saya dengar semenjak puluhan tahun silam: Syekh Yusuf al-Makassari, tokoh pejuang, ulama, sufi, yang menjadi pahlawan nasional di Indonesia dan Afrika Selatan — dua negeri berjarak 12.000 kilometer.
Sepuluh meter dari makam berdiri tugu serupa menara, di kakinya terdapat plakat dari pualam yang di atasnya diterakan kata-kata semacam hymne: “in the ship voetboeg Saint Yusuf came from Caylon to the Cape in 1694. He, his family and 49 followers were the first to read the Holy Koran in South Africa”.
Syekh Yusuf adalah pembawa agama Islam pertama di Afrika Selatan.
Di sinilah jazad Syekh Yusuf terbaring tiga abad lamanya, meski di mata pengikut-pengikut dan orang-orang yang takzim kepadanya sampai hari ini, Cape Town hanyalah salah satu lokasi makam Syekh Yusuf.
Makam lainnya yang juga ramai peziarah ada di Gowa, Banten, Sri Lanka, dan Madagaskar. Di setiap lokasi makam ini, ada jejak hidup dan perjuangan Syekh Yusuf, juga jalur perjalanan dan pengasingannya.
Tak perlulah saya ceritakan di sini. Riwayat perjuangan Syekh Yusuf terserak di banyak buku, artikel, tuturan, dan hikayat-hikayat.
Syekh Yusuf, bangsawan Gowa yang jadi menantu Sultan Ageng Tirtayasa di Banten, menorehkan jejak mulia di setiap tempat ia bermukim bersama pengikutnya dalam pelarian dan pembuangan oleh Belanda di sekitar abad 17. Ia diasingkan ke Sri Lanka, semakin menjauh ke Madagaskar, lalu kian menjauh ke ujung selatan Benua Afrika.
Ia tiba di Cape Town di tahun 1694 bersama 49 pengikut dan keluarganya dan segera mendapat tempat di kalangan warga setempat.
Di hari Syekh Yusuf wafat pada tahun 1699, pengikutnya diberi pilihan: tinggal di Tanjung atau kembali ke Banten. Sebagian besar dari mereka pulang, tetapi seorang putri dan dua muridnya memilih untuk tinggal. Salah satunya dikenal dengan nama Sheik Mohamed.
Begitu kuat pengaruh Syekh Yusuf, saat itu juga, kampung Zandvliet tempat ia bermukim diganti namanya jadi Macassar. Sekitar 200 meter dari makam Syekh Yusuf berdiri Masjid Nurul Latief yang direnovasi besar-besaran oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, dan diresmikan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla pada tahun 2005. Pemerintah Indonesia dan Afrika Selatan juga sama-sama menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Syekh Yusuf.
Makam Syekh Yusuf di perbukitan pinggiran Cape Town ini pun sungguh terawat. Di dalamnya tercium aroma mewangi, lantainya beralas karpet yang bersih, menggantung dari puncak kubah di atasnya ada lampu kristal sederhana, dan di ceruk dindingnya saya melihat ada tersusun kitab-kitab.
Pabila pintu kayu ruang makam ini dibuka, angin dari lereng perbukitan kota Cape Town menghembus sejuk membelai orang-orang yang tengah khusyuk mendoakan sang sufi, Syekh Yusuf al-Makassari, Tuanta Salamaka yang telah menghabiskan hidupnya untuk kemerdekaan, keadilan, dan keselamatan rakyat di setiap tempat di muka bumi di mana ia bermukim.
Cape Town, 4 Desember 2018
Catatan Redaksi: Tulisan di atas diambil dari facebook Tomi Lebang.