PROFESOR Mahfud MD masih ingat benar hari itu, Sabtu 29 Oktober 2022, setahun yang lalu — ia dalam perjalanan kembali dari Universitas Jember, Jawa Timur seusai menghadiri pengukuhan guru besar ilmu hukum Prof. Bayu Dwi Anggono.
Dalam perjalanan, karena lokasinya yang tak begitu jauh, Mahfud hendak mampir ke rumah putrinya, Vina Amalia di pinggiran Probolinggo untuk melepas rindu dengan sang cucu.
Di jalan menuju rumah anaknya, Mahfud melihat banyak orang berkerumun dan berbaris. Tiba-tiba, matanya melihat sang cucu, Majda ada di antara kerumunan orang-orang itu.
Mahfud meminta pengemudi kendaraannya berhenti dan ia turun dari mobil, menghampiri sang cucu. Dengan gembira, Mahfud mengajak cucunya untuk pulang ke rumah.
Ternyata, Majda menolak ikut pulang. Ia bersikeras tinggal bersama teman-temannya. “Mau menonton menteri yang mau datang,” katanya.
Mahfud tertawa lebar. Menteri yang ditunggu para warga adalah ia sendiri. Kakek Majda. Cucu berusia enam tahun itu tak tahu jika kakeknya seorang menteri.
Profesor Mahfud adalah sosok pejabat tinggi yang tak biasa. Ia pernah menjadi anggota DPR, Menteri Pertahanan, Menteri Hukum dan HAM, Ketua Mahkamah Konstitusi, dan sampai kini masih Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan keamanan. Tapi kehidupan dirinya dan keluarganya jauh dari gelimang seorang pejabat tinggi.
Mahfud MD memiliki tiga anak. Tiga-tiganya tak dikenal publik, sampai beberapa hari lalu Mahfud mengenalkannya. Mahfud memang melarang anak-anaknya mengenalkan diri sebagai putra putri seorang pejabat tinggi negara.
Semasa putri keduanya, Vina Amalia kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, ia pernah dikira anak kurang mampu lantaran menyembunyikan identitasnya sebagai anak Ketua MK.
Seorang dosen kerap membagi susu kepada Vina yang terlihat sebagai mahasiswi tak mampu karena penampilan sehari-hari yang sederhana.
Suatu hari, Mahfud MD mengundang dosen tersebut untuk makan bersama. “Pak, terima kasih ya sudah berbuat baik kepada anak saya,” kata Mahfud. Lho, siapa nama anaknya? “Vina Amalia,” kata Mahfud MD. Sang dosen terperangah.
Anak pertama Mahfud yaitu Mohammad Ikhwan Zein juga seorang dokter. Jika Vina dari Unair, Ikhwan lulus dari Universitas Gadjah Mada, almamater Mahfud.
Ikhwan kemudian mengambil pendidikan dokter spesialis di Universitas Indonesia dan gelar doktor di University of Amsterdam, Belanda.
Sementara si bungsu, Royhan Akbar menjadi Dosen Hukum di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Tiga anak Mahfud adalah orang biasa. Tak pernah diberi keistimewaan, dan dilarang memanfaatkan nama besar bapaknya. Bahkan, kata Mahfud, biaya kuliah anak-anaknya bukan darinya, melainkan dari beasiswa yang mereka cari sendiri.
Begitulah. Sudah jarang kita mendangar kisah begini tentang seorang pejabat yang memisahkan kehidupan pribadi, keluarga, dan jabatan yang disandangnya.
Dengan menjalani kehidupan seperti itu, Mahfud MD bisa berjalan dengan kepala tegak dan menuai kepercayaan khalayak.
Itu pula sebabnya, saat datang ke hadapan DPR, di depan parlemen yang biasanya teramat mendikte para pejabat pemerintahan, Mahfud tampil digdaya, bahkan sedikit jumawa.
Dalam sebuah rapat dengar pendapat di Senayan, seorang anggota DPR menyela ucapannya dengan interupsi, Mahfud langsung menyergah:
“Tidak usah interupsi. Dengarkan dulu saya bicara,” katanya. Dan sang anggota DPR yang biasanya berangasan itu terdiam dan tunduk.
Saat itulah, kita menyaksikan hadirnya sosok seorang pejabat negara yang tak biasa: pejabat yang tidak petantang-petenteng, berani mengungkapkan kebenaran, dan tak takut pada tekanan.
TOMI LEBANG