TIADA kata yang bisa merangkum gambaran tentang Masjidil Haram dengan kubus Ka’bah di pusatnya di Kota Makkah. Ribuan tahun sudah manusia dari segala penjuru dunia tiada hentinya datang ke sini, berjalan takzim dalam tawaf seraya mendaraskan doa, bahasa Arab atau bahasa negeri sendiri.
Jika waktu sholat wajib tiba, tawaf berhenti sejenak. Jamaah melingkar, imam Masjidil Haram yang berjubah memimpin ibadah. Di tiga waktu sholat dengan bacaan yang dilantangkan — maghrib, isya dan subuh — jamaah akan hanyut dalam alunan ayat suci imam masjid yang indah tak tepermanai.
Suara sang imam yang berat dan dalam, mengayun dan membuai, menindih dan membebaskan, lalu diam dan dirindukan. Suara yang mengoyak langit selepas senja, atau merobek lazuardi menjelang pagi. Suara dari orang-orang terpilih ini, bagi muslim yang mengikutinya, tak sebanding suara tenor mendiang Luciano Pavarotti dalam konser-konser yang mahal.
Di Masjidil Haram, suara bariton imam masjid selalu menimbulkan kerinduan yang magis dan azali, sebentuk ketakziman kepada Sang Khalik.
Saya ingat kunjungan ke Masjidil Haram untuk pertama kalinya, belasan tahun lalu — juga hari-hari ini. Sebagai manusia biasa, di tengah bacaan panjang sang imam, selalu ada isak dari jemaah. Siapatah yang tak hanyut oleh suara berat dan dalam Syaikh Abdurrahman Sudais, imam bertubuh besar yang beberapa bulan lalu berkunjung ke Indonesia itu?
Imam Masjidil Haram ada sepuluh orang, mereka bertugas bergiliran. Tak perlulah menguraikan syarat menjadi imam di masjid ini, kerajaan Saudi Arabia dan umat muslim sedunia menempatkan mereka sebagai orang terhormat.
Kendati masjid ini milik miliaran umat Islam di bumi, sejak 50 tahun silam Raja Arab yang bergelar Penjaga Dua Kota Suci telah menentukan syarat warga negara Arab Saudi untuk jadi Imam Masjidil Haram.
Tapi dalam perjalanan sejarah, dari Indonesia — setidaknya dari wilayah yang kini bernama Indonesia — pernah juga lahir orang yang menjabat Imam Masjidil Haram. Bukan satu saja, tapi tiga ulama Indonesia. Dua di antaranya mudah dicari rujukannya, satu lagi sangat minim ceritanya.
Imam Masjidil Haram dari Indonesia yang pertama adalah Syaikh Nawawi Al-Bantani. Dari namanya, ia jelas orang Banten. Ia lahir di Desa Tanari, Serang, Banten di tahun 1813 lalu merantau mencari ilmu sampai ke Mekkah. Ia diangkat menjadi imam besar di Masjidil Haram di usia 45 tahun.
Orientalis Belanda, Snouck Hurgronje, yang pernah mengunjungi Mekkah di tahun-tahun masa jabatan Nawawi mencatat kegiatan sang imam yang juga guru bagi banyak murid.
Syaikh Nawawi al-Bantani wafat dalam usia 84 tahun di pinggiran kota Mekkah. Hari wafatnya selalu diperingati dengan ramai oleh warga Tanari di Banten.
Sepeninggal Syaikh Nawawi, ada juga imam Masjidil Haram dari tanah Minang. Dialah Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Ia lahir di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat di tahun 1860. Seperti Nawawi, ia pun merantau mencari ilmu sampai ke Makkah. Ia menikahi putri bangsawan Arab Shalih al-Qurdi bernama Khadijah di tahun 1879.
Ia diangkat menjadi Imam Masjidil Haram di tahun-tahun akhir abad 19. Selain menjadi imam, Syaikh Ahmad Khatib adalah guru besar dan mufti Mazhab Syafi’i. Salah satu muridnya adalah Abdul Karim Amrullah, ayah dari ulama besar Buya Hamka. Murid-murid lainnya tak kurang tenarnya: K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Ahmad Dahlan, dua ulama yang masing-masing mendirikan organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Satu Imam Masjidil Haram lainnya dari Indonesia adalah Ahmad Baidlowi yang juga dikenal dengan nama Kiai Kure. Ia lahir di Cirebon. Tapi hanya itulah catatan tentang dirinya. Ahmad Baidlowi menghabiskan sebagian besar usianya di Mekkah. Tak banyak catatan tentang sang imam ini.
Begitulah.
Tiga orang Indonesia pernah menjadi imam di Masjidil Haram. Kisah yang tak mungkin terulang lagi, mengingat kini hanya orang Saudi Arabia yang boleh menjadi imam dan muadzin di sini.
Kendati begitu, sebagai negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia, baru-baru ini Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengusulkan lewat Imam Besar Masjidil Haram yang datang ke Jakarta, Sheikh Abdurrahman As-Sudais, agar orang Indonesia kelak bisa menjadi Imam Besar Masjidil Haram. Harapan yang tak mengada-ada.
— Makkah, 31 Desember 2014
TOMI LEBANG