Mambi, empat tahun lalu. (Foto: Net.)

Tiada yang fana. Semua yang bernyawa pasti akan mengalami kematian—menghadap Tuhan-Nya.

Selamat jalan (almarhum) Daeng—lelaki penurut dan pendiam dari kampung tua Salubulung (kaca: Talippuki), tempat “diproklamirkannya” pemufakatan awal persekutuan Tujuh Lembang di Pitu Ulunna Salu, tempo dulu jauh di masa silam.

TRANSTIPO.com, Mamuju – Mayat Abdullah Taslim alias Daeng tiba di Salubulung, Kelurahan Talippuki, Kecamatan Mambi, Kabupaten Mamasa, sudah menjelang sore pada Rabu, 13 Desember 2017.

Di rumah tempat pembaringan mayat Daeng, desas-desus tentang penyebab kematiannya itu terus diperbincangkan, dengan cara bisik berbisik dari telinga ke telinga.

Di awal malam, Jumat, 26 Januari 2018, Bayanuddin A. Gani begitu lapang menjawab sejumlah pertanyaan dari transtipo.com melalui sambungan telepon tanpa kabel.

Baya—sapaannya—tengah dalam perjalanan pulang dari kunjungan kerjanya di Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra), ketika kru laman ini mengontaknya.

Sudah jadi kebiasaan sejak leluhur kita di kampung tercinta sana, kata Baya, bahwa apapun yang mengiringi seseorang yang telah berpulang, pantanglah itu dipergunjingkan apalagi dipersoalkan manakala mayat masih terbaring kaku di rumah duka.

“Itu sudah kebiasaan kita di kampung adinda,” kata Bayanuddin A. Gani kepada Sarman SHD—kru laman ini.

Esoknya, atau pada Kamis, 14 Desember 2017, keluarga (almarhum) Daeng coba “mengonfirmasi” apa sebetulnya yang terjadi pada “proses” kecelakaan Daeng itu.

Usut punya usut, keterangan yang diperoleh oleh keluarga korban dari seputar keluarga papa Putri alias Ondong adalah bahwa Daeng terjatuh dari mobil truk di tempat cucian mobil pada Rabu siang, 13 Desember.

Tapi asumsi keluarga Daeng menyebutkan, begitu cerita Baya dan perbincangan-perbincangan di Kabupaten Mamasa, bahwa Daeng tidak dalam kecelakaan biasa.

Sumber ini menyebutkan, ada dugaan lain Daeng terjatuh dari truk saat sedang mengisi bahan bakar ke dalam sejumlah drum. Versi lain, kata sumber ini, diduga pula Daeng terkena benda keras.

Semua masih serba buram.

Sehari berikutnya, atau Jumat, 15 Desember 2017, keluarga Daeng mendatangi kantor Polsek Kecamatan Mambi, berjarak kurang dari 1 kilometer dari pusat kota Mambi.

Penjelasan yang diperoleh dari Kantor Polsek Mambi, “Itu adalah kecelakaan murni.” Begitu penjelasan pihak polisi di Polsek itu kepada keluarga Daeng yang datang mengonfirmasi kejadian itu, menurut penjelasan keluarga korban.

Sabtu, tanggal 16 Desember 2017, salah seorang adik saudara korban langsung ke kantor Polsek Mambi, menanyakan hal ihwal penyebab kematian Daeng. “Kecelakaan murni.”

Itulah kesimpulan yang diperoleh keluarga Daeng dari pihak kepolisian di Polsek Mambi itu.

Baya melanjutkan, pada Senin, 18 Desember, ada keluarga Daeng datang dari Mamuju, Sulbar. Setibanya di Mambi, keluarga Daeng ini yang berprofesi sebagai anggota Polri langsung ke Kantor Polsek Mambi “mengonfirmasi kecelakaan” Daeng.

Kata Baya, ia diterima langsung oleh Kapolsek Mambi. Dari situlah kemudian diketahui bahwa ada “kejanggalan” informasi seputar kejadian “kecelakaan murni” itu.

Pihak Ondong juga, sejak saat itu, mulai menerangkan sejujurnya tentang apa yang terjadi di tempat cuci mobil. Bahwa, Daeng bukan jatuh dari mobil truk melainkan “terseruduk” dari bawah truk, dan karena itulah nyawa Daeng sudah tak tertolong lagi.

Dengan pengakuan jujur Ondong itulah—begitu hasil konfirmasi dari kedua belah pihak—maka sejak itu pula Ondong “menyerahkan diri” yang seterusnya dibawa ke Polres Mamasa untuk “diamankan”.

Bahwa kemudian—meski Ondong telah mengaku “bersalah”—pihak keluarga Daeng (almarhum) tetap menuntut secara hukum perihal kejadian yang menimpa Daeng, itu adalah demi “menjernihkannya” persoalan ini secara hukum.

SARMAN SHD

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini