Hj. Maemuna Djud Pance. (Foto: Muhammad Munir)

Bagian I

Oleh: Muhammad Munir (*

BARUGA mungkin hanya sebuah kampung kecil di sebuah kota yang dulu pernah menjadi pusat pemerintahan Belanda. Jika ada yang mempunyai pandangan seperti itu, maka mulai detik ini juga beranjaklah dan mulailah tatap dan berkunjung ke Baruga, sebab dengan demikian sudut pandang kita terhadap Baruga akan berubah 180 derajat.

Baruga adalah sumbu peradaban yang darinya para Tomakaka melahirkan berbagai konsep penentu eksisnya kebudayaan, keagamaan, kejuangan di Mandar.

Baruga selain sebagai pusat peradaban era Tomakaka, juga menjadi lumbung pengembangan ilmu agama yang dalam proses perjuangan memperebutkan dan mempertahankan kemerdekaan. Daerah ini tercatat sebagai tempat lahirnya banyak pejuang termasuk lahirnya wadah GAPRI 5.3.1.

Di Barugalah ratusan jiwa melayang demi kemerdekaan. Di Baruga pula para pejuang itu menenteng nasibnya sendiri di era merdeka, sebab tak terhitung para pejuang itu hidup tak mendapatkan haknya sebagai pejuang.

Pada tahun 1916, ketika cengkraman Hindia Belanda benar benar menikam pribumi, di Baruga pula sepasang siami istri bernama Muhamnad Saleh dan Habiba hidup memadu kasih dan melahirkan sosok bayi perempuan yang mereka beri nama Sitti Maemuna.

Keduanya mungkin tak akan pernah berfikir dan bermimpi bahwa kelak anak petempuannya itu akan tumbuh dan berkembang menjadi tokoh perempuan pendidik dan tokoh pejuang yang mampu mengorganisir organisasi besar sekelas GAPRI 5.3 1.

Pasangan itu bernama Muhammad Saleh dan Habiba boleh jadi tak pernah membayangkan bahwa anaknya yang lahir pada tahun 1916 akan menjadi sosok pendidik dan pejuang kemerdekaan.

Maemuna kecil tumbuh dan berkembang di Kampung Baruga. Ia hidup di antara rindang pohon dan dinginnya malam. Ia hidup dalam bimbingan orangtua dan lingkungan yang taat beragama, sehingga kelak sosok Maemuna dikenal sebagai wanita salehah, sebagai guru dalam organisasi keagamaan Muhammadiyah.

Sisi kehidupan Maemuna sesungguhnya tidak terhitung mujur, sebab ketika masih berumur 6 tahunan ia harus kehilangan sosok ibu yang menyayangi. Praktis kematian sang Ibu membuat Maemuna harus lebih banyak belajar menjadi sosok ibu bagi kedua adiknya yang bernam Bahria dan Nurdin.

Kematian Habiba membuat Muhammad Saleh harus menikah kembali dengan wanita bernama Sohora. Dari pernikahan ini, dikaruniai 2 oang putera yaitu Mabrur dan Abrar, keduanya berdomisili di Makassar.

Dalam kehidupan keluarga Maemuna, pendidikan Islam menjadi hal utama yang harus ditanamakan. Termasuk pendidikan nonformal berupa adat istiadat yang berlaku di masyarakat Mandar. Inilah yang kemudian menjadikan Maemuna dikenal sebagai anak yang shalehah, taat beribadah dan pemberani.

Karakter pemberani ini boleh jadi karena ia anak petama dari lima bersaudara. Selain itu Maemuna selalu bersikap hati-hati dalam bertindak karena dia adalah panutan terhadap keempat adiknya.

Pada tahun 1928, ketika usia Maemuna menginjak 12 tahun, ia baru mulai mengenal sekolah formal, yaitu Sekolah Dasar 6 tahun di Majene. Selanjutnya ia mengambil  pendidikan guru selama 2 tahun di tempat yang sama. Hingga pada tahun 1937, Maemuna kemudian melanjutkan ke CVO untuk mendidik tenaga-tenaga guru dan terangkat sebagai Kepala Sekolah Ba’babulo dari tahun 1937-1953.

Tiga tahun menjadi Kepala Sekolah, pada tahun 1940 Mamuna menikah dengan pemuda bernama Muh. Jud Pance, seorang guru dari tanah Bugis. Pernikahan keduanya dilangsungkan di Deteng-Deteng, Majene. Sayang sekali, pernikahan mereka tak dikaruniai anak. Bersambung

Catatan:
Tulisan awal ini dimaksudkan untuk memberi kabar pada semua, bahwa masih banyak sosok yang layak diusulkan untuk menjadi pahlawa nasional. Salah satunya adalah Maemuna.

Semoga Pemerintah Majene tidak menggendong lupa bahwa ada sosok pendidik yang layak jadi ikon Kota Pendidikan Majene. Untuk ukuran pejuang, jasa beliau tak kalah heroik dengan Andi Depu. Beliau selain pejuang kemerdekaan, ia juga sekaligus pejuang pendidikan.

MUHAMMAD MUNIR
*) Penulis adalah pegiat Literasi dan Rumah Baca di Provinsi Sulawesi Barat.

1 KOMENTAR

  1. Sayangnya Maemunah mengisyaratkan bhw beliau tdk siap menerima gelar pahlawan jika sejarah perjuangan yg diyakininya salah belum diluruskan. Sebagaimana beliau tdk mau menerima tunjangan veteran sampai meninggal dunia krn hal tersebut. Beliau tdk rela apabila Gapri 531 dianggap sebagai salah satu divisi dr lasykar Kris Muda di Tinambung, dan mengklaim peristiwa Talolo sampai Galung Lombok adalah bagian dari perjuangan Kris Muda. Maemunah menyatakan tdk ada sama sekali hubungan Gapri 531 dg Kris Muda pada masa perjuangannya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini