DIA menjadi perempuan biasa yang apa adanya. Dia menjadi Ibu secara ‘sempurna’ dengan dua tugas utama: menjadi pendamping suami yang tuntas, dan menjadi pengayom bagi anak-anaknya yang tulus setulus-tulusnya, dengan tidak melupakan ibadahnya kepada Sang Khaliq.
Dia menjadi ‘asisten’ dalam rumah tangganya tanpa bu ba dan bi. Dia adalah kakakku, anak pertama dari keluarga yang terlahir dari rahim Harina (almarhumah) dan seorang ayah bernama Sahuding. Dari binaan keduanyalah Hasniati – nama kakakku itu – beroleh ilmu alamiah dalam menurunkan pembinaan kepada anak-anaknya, hingga kini.
Empat puluh dua tahun yang silam, dia terlahir ke dunia. Dia seorang perempuan. Kulitnya sedikit putih, sawo matang lebih tepatnya. Dia anak pertama dari lima bersaudara seIbu seBapak. Sejak Ibuku wafat pada September 2011 silam, setahun lebih kemudian Bapakku menikah lagi dan sudah dikaruniai seorang anak perempuan.
Jadilah dalam keluarga kami kini berjumlah enam orang. Saya anak kedua. Jadi tentang kakakku dan adik-adikku, saya bisa tahu banyak hal. Sebagai anak laki-laki satu-satunya, saya seolah menyedot perhatian berlebih dari Ibu-Bapakku. Salah satunya, saya diberi ruang dan waktu untuk sekolah setinggi-tingginya.
Itu komitmen Bapakkku sewaktu saya masih duduk di sekolah menengah pertama. Namun, peluang itu saya tak manfaatkan secara baik. Sebelum gelar sarjana (strata satu) saya rengkuh, perhatian pada dunia jurnalistik dan menulis malah jadi pilihan primadonaku. Sekolah formal terhenti setelah S1.
Harapan Ibu-Bapakku untuk sampai di jenjang sekolah doktoral, pupus di tengah jalan dan itu saya putuskan sendiri. Yang jadi ‘korban’, ya, saudara-saudaraku itu yang perempuan. Mereka tak berhasrat sekolah tinggi-tinggi lantaran ekspektasi besar dari Bapakku mereka amini secara spontan dan ikhlas.
Dulu, kakakku salah satu dara Mambi yang cantik. Dia ‘diminati’ banyak lelaki. Bahkan ketika baru kelas dua di SMP Mambi, lamaran sudah nyaris dilayangkan ke rumah. Tapi dia masih dianggap bocah saat itu. Ketika sekolah di SMEA Polewali, beberapa lelaki yang kerap berkunjung ke rumah tante – tempatnya berdiam selama sekolah di Polewali – membuatnya pusing tujuh keliling.
Akhirnya, kesimpulan keluarga ia dinikahkan di tengah ia masih menempuh sekolah di SMEA Polewali. Lantaran ketakutan akan bahaya yang akan menimpa di kemudian hari jika tak dinikahkan. Bisa jadi, begitu kekuatiran Ayahku, laki-laki yang teramat kerap ‘merapat’ ke rumah dan kerumah tante di Polewali, bisa berbuat ‘nekat’. Itulah yang dihindari. Dan, itu pulalah salah satu alasan menjadikan kakakku itu dinikahkan secara dini.
Menjelang Idul Fitri lalu, saya pulang ke kampung, Mambi, dan itu berarti setahun berlalu baru saya menginjakkan kaki di ‘bumi pertiwiku’. Saya tak sendiri, banyak orang mudik ke kampung setelah setahun mengelena di tempat rantau – yang dekat maupun yang jauh.
Sungguh indah menutup Ramadhan di tengah keluarga besar di kampung tercinta. Saya berjumpa kakak tertua. Dia belum tampak tua meski umurnya sudah menjelang 42 tahun. Badannya memang tak lagi bonsor, mungkin penyebabnya dua si kecil tengah lincah-lincahnya berlari.
Si bungsu dan anak kedepalannya itu yang membuat lemak di tubuh kakakku berkurang. Maklum dari sembilan kali melahirkan secara normal, ditambah dua kali keguguran. Sebelas kali mengandung bukan perkara gampang bagi seorang perempuan paruh baya.
Kakakku adalah pewaris tunggal atas tradisi dari nenekku yang mampu melahirkan anak lebih selusin. Bahkan kakakku akan melampaui nenek-nenekku itu manakala ia tak tutup kandungan, sejak si bungsu dilahirkan di salah satu rumah sakit di Polewali dua tahun lalu.
Melahirkan sembilan anak, ditambah dua anak lagi yang tak sempat mencecap udara dunia. Artinya, ‘11 anak menggerogoti’ perut dan rahim kakakku yang bisa dibilang sebuah prestasi perempuan dewasa yang sangat luar biasa. Kini anak-anaknya sudah lincah, dan telah menggeliat ke pelbagai urusannya. Tiga anaknya sudah kuliah di perguruan tinggi, sementara yang lainnya masih sekolah lanjutan atas, menengah, dan dasar.
Saya tak pernah memegang erat lengan kakakku, bagaimana kuatnya kedua lengan seorang perempuan yang telah melahirkan 11 anak. Tapi saya yakin, lengan lelaki jauh lebih kuat daripada lengan kakakku itu. Tapi yang saya tahu, semangat dan mentalnya yang jauh lebih kuat daripada kekuatan tenaganya, kekuatan fisiknya, kekuatan kedua lengannya.
Saya tak bisa banyangkan, kekuatan kakakku sumbernya pasti hanya dua: inspirasi dari almarhumah Ibuku dan Bapakku. Dan, yang paling utama ‘mugkin doanya’ dijawab langsung oleh Allah melalui perantaraan malaikat Jibril, ditambah safaat dari Baginda Muhammmad SAW.
Ketika saya membaca sejarah hidup Nyut Nya Dien, Dewi Sartika, dan RA Kartini, saya kagum akan perjuangan tiga – bahkan tak hanya tiga – tokoh perempuan Nusantara itu. Tapi itu diungkapkan dalam sejarah yang ditulis orang kemudian saya baca dalam pelbagai literatur.
Saya tidak lihat. Saya tak bisa potret lebih dekat. Saya tak bisa menyerap ‘kekuatan inspirasi perempuan’ langsung dari dekat. Tapi pada kakakku, saya lihat secara langsung. Saya cermati secara teliti bagaimana perjuangan hidupnya, bagaimana ia bertahan di tengah kehidupan yang berat di perantauan kala itu.
Bagaimana kehidupannya ketika masih di Polewali dan di Gowa, Sulsel, tanpa dibantu seorang pembantu di rumah. Ia mengangkat atau menimbah air dari sumur dengan kedalaman kisaran 7,5 meter, baik ketika masih Polewali maupun ketika di Gowa dulu. Dia mengatrol air dengan sebuah timbah dari bekas kaleng cat.
Begitu sering air mata ini menitis tatkala menyaksikan kakak kandungku ini mengerjakan cucian yang tak sedikit dan lewat kekuatan kedua tangannya mengatrol air dari dalam sumur di dapurnya tempo itu.
Terkadang begitu berat saya menengoknya ke Gowa sana manakala saya tahu dia lagi kurang sehat badan. Terbayanglah betapa perihnya menjalankan pekerjaan rutin harian yang tidak boleh tidak harus ia tunaikan.
Tapi, kekarnya kekuatan kakakku ini, bukanlah dari dirinya semata: Allah Azza Wajallah-lah yang “menurunkan kekuatan-Nya”. Saat menulis untaian ini, tak terkiralah air mata adiknya ini menetesi pipi.
Dia tarik sekuat-kuatnya berkali-kali hingga beberapa ember dan baskon besar penuh untuk kemudian dipakai membersihkan pakaian kotor suami dan segenap si buah hatinya. Dia belum kenal mesin cuci. Tenaga kakakku luar biasa. Mental kakakku luar biasa. Sholat kakakku “sulit ditandingi”. Doanya “mugkin” yang “tembus” ke langit ketujuh.
Saya saksikan ketika suaminya jadi pegawai biasa, hidupnya sangat sederhana. Ketika suaminya jadi camat, dia pakai tas “darma wanita” seadanya yang dibeli di pasar lokal Mambi.
Meski kini suaminya telah jadi pejabat teras di Pemkab Mamasa, cara hidup dan penampilannya tak berubah. Jadi besok lusa jika suaminya “korupsi” misalnya, saya haqqul yakin 100 persen bukan lantaran desakan isterinya ini.
Sudah umum terjadi, kebanyakan suami yang tengah jadi pejabat tergoda untuk “korupsi” lantaran desakan materi dari isteri dan anak-anaknya, atau bahkan dari “isteri simpanan”– jika memang ada.
Alhamdulillah, kakakku, dan anak-anaknya tak pernah menuntut lebih dari sekadar kebutuhan dasar sekolah pada ayahnya.
Ini yang bisa menjaga suami kakakku itu untuk bisa selamat di dalam tugasnya, kecuali jika nafsu yang datang sendiri melihat godaan yang ada di “depannya”, di dalam kantornya sendiri.
TABE’
SARMAN SAHUDING