TRANSTIPO.com, Mamuju – Dalam demokrasi seperti di Indonesia saat ini yang sedang melaksanakan Pilkada serentak, pers atau media yang berpihak pada salah satu kandidat itu hal biasa. Hal ini mengemuka dalam diskusi pers di Warkop 89, Mamuju, Senin malam, 7 November 2016.
Diskusi ini dipandu oleh Ketua AJI Kota Mandar dengan pemateri Sekjen AJI pusat Arfi Bambani Amri dan Direktur Radar Sulbar H. Mustafa Kufung. Memang tak ada daftar hadir disediakan, tapi sesuai pantauan laman ini, terdapat sekitar 20-an wartawan di Mamuju yang hadir.
Diskusi ini berlangsung dari pukul 20.00 hingga 23.00 WITA. Diskusi ini hidup, tentu penyebabnya karena Arfi Bambani Amri datang dari Jakarta. Lelaki berdarah Padang, Sumatera Barat (Sumbar) ini bekerja sebagai jurnalis di perusahaan media online viva.co.id—satu grup dengan tvone, media milik keluarga Bakrie.
Arfi berbagi ilmu dengan wartawan di Mamuju. Wartawan senior ini pernah mengunjungi Amerika Serikat, Belanda, dan Singapura. Semua kunjungan di luar negeri itu untuk pengembangan karis sebagai wartawan Indonesia. Dari kisah singkat yang dibeberkan itu berguna bagi wartawan di Mamuju, Sulbar.
“Sekarang ini kawan-kawan, masyarakat sudah tambah cerdas. Jadi, dalam konteks Pilkada atau Pilpres misalnya, tak apa media berpihak, tapi ya harus jujur pada fakta. Pemihakan media pada salah satu kandidat misalnya, itu bisa dilihat dari editorial sebuah media. Tidak apa-apa yang penting jelas siapa penulisnya, dan dari mana. Kita transparan saja biar pembaca yang menilai,” urai Sekjen AJI Indonesia ini.
Menurut Arfi, masyarakat sekarang butuh informasi atau berita yang otentik, informasinya valid. “Kejujuran pada fakta, sumber tulisan jelas, transparan tentang siapa yang menulis itu sudah menjadi satu model etika baru dalam penyajian sebuah tulisan saat ini,” kata Arfi.
Arfi Bambani Amri mengaku tak setuju jika ada wartawan yang mengaku bekerja di sebuah media tapi kerjanya minta-minta uang, atau bahkan memeras pihak tertentu.
“Ini yang mesti kita perbaiki ke depan. AJI sama sekali tak mentolerir kerja-kerja wartawan yang seperti itu,” tegas Arfi.
Menurut bacaan Arfi, wartawan yang terlalu murah itu, yang kerjanya minta-minta amplop/uang, tak kaya-kaya juga. “Ini pengalaman yang saya lihat di beberapa tempat ya, bang,” aku Arfi sembari tertawa kecil.
Ungkapan itu sebetulnya menampar muka wartawan di daerah. “Banyak cara-cara kreatif yang bisa mengubah nasib wartawan,” kunci Arfi Bambani Amri.
SARMAN SHD