TRANSTIPO.com, Mamuju – “Jumlah persisnya media online saat ini, hanya Tuhan yang tahu.” Begitu Imam Wahyudi, Anggota Dewan Pers, beri penjelasan sekenanya ketika menjawab pertanyaan dari salah seorang peserta Pendidikan Safari Jurnalistik yang diadakan oleh Dewan Pers di Mamuju, Sulawesi Barat, pada Senin, 13 November 2017 lalu.
Ketika itu, baik Imam Wahyudi maupun Marah Sakti Siregar yang juga pemateri dalam safari jurnalistik itu menyebutkan bahwa perkembangan media siber atau online saat ini tak terkendali, “Jumlahnya mencapai 43 ribuan-lah.”
Dalam sejumlah pemberitaan yang dirilis oleh Dewan Pers, per April 2018, disebutkan bahwa jumlah media di Indonesia saat ini tak kurang 47 ribu, 43.300 diantaranya adalah media berbasis daring atau online. Sementara dari sejumlah media-media tersebut yang terverifikasi baru sekitar 200-an perusahaan media.
Terlepas dari data statistik media siber yang jumlahnya bisa memusingkan itu, perihal dedikasi wartawan, ya tetap harus tunduk pada penjelasan pemateri di bawah ini.
Imam Wahyudi, yang basicnya dari Ikatan Jurnalis Televisi Indoesia (IJTI), menyebut bahwa karya jurnalistik itu basisnya adalah intelektual dan moral.
Ia menerangkan, bahwa profesi jurnalistik itu membutuhkan intelektual yang dalam. “Profesi seorang wartawan tentu punya acuan yang standar—acuan etika dan etika perilaku—sehingga dapat terwujud good and moral,” sebut Imam Wahyudi.
Beberapa jam lalu berakhir diskusi singkat terkait perkembangan pers. Yang menajam dibahas adalah media digital. Diskusi ini sekadar sebentuk waktu sela atas kunjungan kerja jajaran Sekretariat Dewan Pers Indonesia.
Diskusi ini dilaksanakan di Warkop 157 Mamuju, Sulawesi Barat. Diskusi sela ini atas inisiasi pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Mandar, Farhanuddin.
“Mumpung beliau-beliau hadir di Mamuju, ya, kita kandang passa untuk berbagi ilmu,” sebut Farhan—sapaan mantan jurnalis METROTV ini. Farhan juga bilang, pada siangnya, Senin, 20 Agustus, berlangsung diskusi seru mengenai Indeks Kebebasan Pers di Indonesia. “Ini inti tujuan kedatangan beliau-beliau itu.”
Dari Farhan kemudian mendaulat dedengkot muda AJI Kota Mandar, Anhar. Dari Anhar-lah tampak seolah acara diskusi santai ini dihelat oleh AJI.
“Bukan AJI, kebetulan saya inisiasi undang kawan-kawan jurnalis atau wartawan di Mamuju untuk hadir dalam diskui malam ini,” sebut Anhar, beri keterangan.
Di forum kecil yang bertempat di ‘bungalow’ sejuk di bagian belakang warkop milik Yaya dan Wahab—begitu ia disapa—tampak hadir tak kurang 25 orang wartawan/jurnalis.
Pematerinya, sebutlah begitu, ada tiga orang. Ketiganya datang dari Jakarta. Ada Rustam F. Mandayun, pensiunan wartawan Majalah TEMPO, yang kini memegang salah satu Pokja di Dewan Pers.
Soal Rustam ini, yang saya tahu, dulu dia adalah salah satu pengajar ilmu menulis dalam komunitas jaringan TEMPO—di Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta. Bahkan, dalam sejarah pers Indonesia modern, nama Rustam tercatat sebagai bagian dari pendiri AJI Indonesia pada 1994.
Lalu dua perempuan, Derita Wati, sehari-harinya adalah Kepala Bagian Pengembangan Pers dan Hubungan Antar Lembaga Dewan Pers. Yang satunya lagi Ajeng, pakai kerudung adalah staf sekretariat Dewan Pers.
Diskusi semalam itu diantar oleh Anhar lalu disorong ke Adi Arwan Alimin—wartawan senior multi-talenta—sebagai moderator.
Dewan Pers mencatat, saat ini terdapat sekitar 43.000 lebih media siber atau online di Indonesia. Pertumbuhannya cepat sekali. Baru sebagian kecil yang diverifikasi secara faktual oleh Dewan Pers dan selebihnya sedang mengarah ke sana.
Baik Rustam maupun Derita mengemukakan bahwa dari sekian syarat yang mesti dimiliki sebuah perusahaan media—termasuk perusahaan media online—salah satu yang paling penting adalah penanggungjawab atau pimpinan redaksi setiap media mesti Wartawan Utama.
Rustam tegaskan, itu artinya setiap wartawan mesti telah mengikuti dan lulus uji kompetensi oleh Dewan Pers. “Tempo hari, kita termasuk yang mendorong kebebasan pers di Indonesia. Tapi memang, kebebasan pers itu ada ketentuannya,” sebut Rustam.
Menurutnya, setiap orang yang telah bergelut di bidang tulis menulis memang punya hak jadi wartawan, tapi perlu diingat bahwa yang menjaga kebebasan pers itu, ya, termasuk kita juga. Pedoman kita berpulang dari hati nurani seorang wartawan.
Derita—termasuk Ajeng—menjelaskan secara detail syarat-syarat sebuah perusahaan media pers untuk diverifikasi oleh Dewan Pers.
Sampai batas Desember nanti, Derita ingatkan, agar media-media ikut verifikasi faktual.
SARMAN SHD