Benih Merdeka (1919) dan Muh. Tok Wan Haria (TWH)

1099
Wartawan senior Indonesia, Teguh Santosa (kiri) bersama Bapak Muhammad Tok Wan Haria (TWH). (Foto: Istimewa)

TRANSTIPO.com, Jakarta – Ditemani Bang Choking Susilo Sakeh, Aulia Andri, Faisal Mahrawa, dan Bang Abdullah Harahap, saya mengunjungi tempat ini pertengahan Maret lalu: Museum Perjuangan Pers di Jalan Sei Alas, Sei Sikambing, Kota Medan.

Museum sederhana yang didirikan sekitar tiga tahun lalu oleh seorang wartawan senior dan veteran perang kemerdekaan, Muhammad Tok Wan Haria.

Ia lahir di Bireun, Aceh Utara pada 15 November 1932. Di kota kelahirannya, pada usia yang masih sangat belia, ia bergabung dengan tentara dan bertugas sebagai semacam humas.

Pada tanggal 17 Juni 1948, Presiden Sukarno berkunjung ke Bireun, disambut Komandan Divisi X Tentara Republik Indonesia Kolonel Husin Yusuf dan Gubenur Militer Aceh-Langkat-Tanah Karno, Jenderal Mayor Tengku Muhammad Daud Beureuh.

Di Lapangan Cot Gapu malam itu, Bung Karno berbicara di hadapan ribuan pejuang dan anggota masyarakat, yang datang bukan hanya dari Bireun dan Aceh Utara tapi juga dari Aceh Tengah dan Pidie.

Muhammad TWH muda ada di antara ribuan orang yang menghadiri rapat akbar itu. Ia larut di tengah massa yang terkesima pada pesan-pesan perjuangan Bung Karno yang mengajak tentara dan rakyat sipil untuk menghadapi agresi militer Belanda yang ingin kembali menduduki Indonesial

Tahun 1950, Muhammad TWH pindah ke Medan. Ia melanjutkan pendidikan ke SMP Josua, lalu SMA Tagore. Tahun 1954 ia mulai bekerja di Harian Mimbar Umum Medan. Kelak setamat SMA, Muhammad TWH melanjutkan pendidikan di Fisipol USU.

Di tahun 1967, Muhammad TWH memimpin delegasi wartawan Indonesia ke Kamboja untuk meliput Games of the New Emerging Forces (Ganefo) Asia.

Ganefo adalah pesta olahraga yang diinisiasi Bung Karno pada tahun 1963 sebagai tandingan Olimpiade. Seperti namanya, pesta olahraga ini diikuti oleh negara-negara yang baru merdeka pada dekade dekolonisasi pasca Perang Dunia Kedua.

Awalnya, ini adalah bentuk perlawanan Indonesia pada Komite Olimpiade Internasional (KOI). Ketika menjadi tuan rumah Asian Games 1962, Indonesia menolak mengundang Israel dan Taiwan. Karena aksi sepihak itu, KOI menangguhkan keanggotaan Indonesia dan melarang Indonesia ikut dalam Olimpiade Tokyo 1964.

Muhammad Tok Wan Haria (TWH) di Museum Perjuangan Pers, Medan, Sumatera Utara. (Foto: Istimewa)

Ganefo digelar di Jakarta pada November 1963, diikuti 51 negara. Dalam catatan Wikipedia berbahasa Inggris, Indonesia berada pada posisi keempat perolehan medali (21 emas), setelah RRC (68 emas), Uni Soviet (27 emas), dan Republik Arab Bersatu (22 emas).

[Catatan mengenai perolehan medali Ganefo 1963 ini berbeda antara Wikipedia berbahasa Indonesia dan Wikipedia berbahasa Inggris. Di Wikipedia berbahasa Indonesia, Indonesia disebutkan berada di posisi ketiga.]

Di tahun 1967 Kamboja menjadi tuan rumah Ganefo kelas Asia yang diikuti 17 negara. Catatan tentang hasil akhir Ganefo Asia di Kamboja itu tidak sempurna. Di Wikipedia (berbahasa Inggris) hanya ada catatan perolehan medali empat negara. China berada di tempat pertama dengan 108 emas, disusul Korea Utara (30 emas). Kamboja dan Jepang sama-sama memperoleh 10 medali emas. Bedanya, perolehan perak dan perunggu Kamboja lebih banyak.

Ganefo berikutnya, yang kelas internasional, direncanakan digelar pada 1970 di Beijing, China. Dalam perjalanan, China membatalkan pencalonan dirinya sebagai tuan rumah dan memberikan kesempatan kepada Pyongyang, Korea Utara.

Namun akhirnya, Ganefo II tak pernah digelar. Dan cerita Ganefo menguap, hilang ditelan angin, menyusul berbagai perubahan besar yang terjadi di arena politik dunia.

Di pertengahan 1980an, Muhammad TWH berkunjung ke Amerika Serikat untuk menyaksikan pemilihan Presiden AS yang mempertemukan incumbent Ronald Reagen dari Partai Republik dengan jagoan Partai Demokrat, Walter Mondale.

Saya menikmati jejak sejarah yang ditampilkan di museum itu sambil mendorong kursi roda Muhammad TWH. Sang tuan rumah menceritakan banyak hal yang telah terjadi di masa lalu. Menjelaskan foto sejumlah tokoh nasional dan lokal yang dipasang di dinding museum, dan berbagai artikel yang ditempelkan di panel-panel yang memenuhi ruang tengah.

Ada halaman muka koran “Kita-Sumatora Sinbun” edisi Sabtu, 18 September 2603 atau 1943. Salah satu beritanya adalah tentang salah seorang komandan militer Italia dalam Perang Dunia Pertama dan Perang Dunia Kedua, Ugo Cavalero, yang bunuh diri. Tubuhnya ditemukan tak bernyawa dengan luka tembakan di bagian kepala di sebuah hotel di Frascati.

Headlinenya tentang Partai Fasis Italia yang berubah menjadi Partai Republik Fasis, di samping berita tentang perjanjian Jerman dan Jepang menuju suasana baru dunia.

Juga ada copy dari halaman muka “Benih-Merdeka” edisi 22 Februari 1919, dan “Pewarta Deli” edisi 19 Oktober 1945.

Sebelum meninggalkan Museum Perjuangan Pers, saya serahkan buku “Di Tepi Amu Darya” untuk Pak Muhammad TWH. []

TEGUH SANTOSA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini