Anak Kampung Salubuah, Jauh dari Mimpi Jadi Polisi

1952
IPTU MAKMUR, SH, MH. (Foto: Istimewa)

TRANSTIPO.com, Mamuju – Dulu, nyaris tak ada yang tahu ada nama sebuah kampung Salubuah.

Hanya orang di pegunungan Mambi yang kerap mengelana di rimba-rimba yang jauh di segala lekuk pegunungan mengenali kampung kecil itu.

Ya, Salubuah. Kampung tua Salubuah.

Seiring zaman kampung ini pun berubah mengikuti alur perkembangan pemerintahan.

Jika dulu hanya sebuah kampung kecil, kini ia telah menjadi kampung ramai dengan nama yang mulai dikenal banyak orang. Kampung ini tak terpisahkan dari Kelurahan Talippuki, Kecamatan Mambi, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat.

Di kampung Salubuah itulah lahir seorang lelaki, kelak bernama Makmur.

Salubuah berjarak cukup jauh dari Kelurahan Mambi, sekitar 7 kilometer.

Dulu, Makmur ingat betul ketika harus mencapai Mambi. Ia berangkat dari Salubuah setelah sholat subuh, jam 05.30 WITA. Tiba di Mambi sudah mulai muncul sinar mentari pagi di ufuk timur.

Makmur dan kakaknya, Samsuddin, kerap mendapat tugas ke Mambi dua kali dalam sepekan: Senin dan Kamis.

Dua hari itu begitu penting bagi warga Salubuah, juga warga Mambi umumnya. Hari itu hari pasar, terutama pada Kamis. Orang bilang pasak maroak (pasar besar).

Pada subuh hari, Senin dan Kamis itu, Makmur dan Samsuddin menyibak jalan di tengah gulita dari Salubuah ke Mambi. Berangkat dari rumahnya di Salubuah ia bermodal penerang obor: sepotong bambu berbahan bakar minyak tanah dengan sumbu dari sabut kelapa yang kering. Jalan terang terbatas pun membuat langkah Makmur terayun ringan hingga ke Mambi.

Jalan ke Mambi sepagi itu bukan dengan tangan kosong. Satu tangan memegang lampu penerang obor dan tangan lainnya menekan bawaan di pundak, kadang sekarung kopi, bertandan-tandan pisang, sagu dan sayur mayur.

Barang bawaan yang dipikulnya itu ia jual di Pasar Mambi.

Begitulah di masa kecil Makmur dan Samsuddin. Masa sebelum umur sekolah. Masa kecil yang jauh dari harapan bisa hidup seperti anak-anak lainnya yang lahir dari keluarga dengan ekonomi berada.

Masa sekolah dasar (SD) Makmur tetap harus berjuang sampai dua kilometer untuk sampai ke SD Salubulung, yang sekarang masuk wilayah pemerintahan Kelurahan Talippuki, Kecamatan Mambi.

Begitulah hingga tamat SD di Salubulung, jalan kaki pergi pulang dengan menempuh jarak 4 kilometer.

Bocah Makmur dan Samsuddin tak menyerah. Hidup dari kedua orangtua yang tak berada meski sabar dan tabah menjalani hidup apa adanya, hidup dengan pekik perjuangan.

Memori Makmur kini di Mamuju mengingat benar sekolahnya dulu di kampung Salubulung itu. Ia berkisah, SD Salubulung dulu masih pakai dinding papan dan bambu rautan yang dianyam jadi pelengkap dinding pembatas ruang kelas belajar. Di luar halaman sekolah yang ditumbuhi rumput terdapat pagar dari bambu dengan tiang kayu keras.

Semasa enam tahun di SD, Makmur tak mengenal pengalas kaki: sepatu. Setelah keluar rumah hingga di depan pintu sekolah, dari tungkai hingga tumit berbalut lumpur. Pemandangan itu sudah hal biasa bagi anak sekolahan sepantaran Makmur di Salubulung tempo itu.

Di sekolah itulah enam tahun lamanya Makmur menimba ilmu secara formal. Ia tak bisa lupa guru-gurunya. Dari merekalah, kisahnya, ia beroleh pelajaran yang sungguh penting, yang kelak berguna menuntun jalannya meniti pendidikan di kota.

Lulus SD di Salubulung ia melanjutkan pendidikan sekolah lanjutan pertama di SMP Negeri Mambi.

Makmur, juga kakaknya Samsuddin, tetap menekuri pekerjaan memikul hasil kebun milik ayahnya untuk dijual ke pasar: Senin dan Kamis.

Dari Salubuah ia berangkat di subuh hari layaknya orang kampung. Pakaian seragam sekolah dililitkan di pinggang, sepatu dalam bungkusan kantong kresek tersampir di pinggang, di atas pundak beban berat memikul bawaan jualan: entah kopi dan hasil kebun lainnya. Tergantung musimnya.

Ia berjalan hingga 7 kilometer jauhnya. Dekat Mambi, sekitar Bakba Lemba, ia singgah sebentar di sebuah rumah kerabat untuk bersihkan lumpur di kaki dan ganti baju serta pakai sepatu. Ia taruh barang pikulan di gardu tempat ibunya menjual lalu ia terus ke sekolah, SMP Mambi. Tiga tahun ia jalani rutinitas itu.

Belum ada mimpi ia akan bisa sekolah di kota. Tapi tekad ayah-ibunya tetap membathin: anakku harus sekolah di kota.

Malam telah beranjak larut di pojok Mamuju, Kamis dinihari, 23 Februari ketika bertemu tanpa sengaja dengan Makmur. Dan inilah kisahnya.

“Saya dulu itu mulai sebelum sekolah bahkan sampai SMP, setiap sore membantu orangtua di sawah dan kebun,” kata Makmur.

Ia lulus di SMP Negeri Mambi pada 1996.

Ia bilang, dulu itu keluarganya di kampung punya kebun kopi yang luas. Hasil menanam dan menjual itulah yang ia pakai sekolah ke kota: SMA Negeri 2 Parepare, Sulawesi Selatan.

“Ternyata itu kopi saudara, bisa membuat banyak orang berhasil,” kisahnya sembari tertawa.

Melangkahkan kaki ke kota niaga Parepare itu, ia meniti jalan peruntungan kakaknya, Samsuddin, yang lebih dulu ke kota ini dan sudah jadi Polisi (Brimob).

Tamat di Parepare pada 1999 ia pulang ke kampung Salubuah. Di sana ia kembali bertani dan berkebun. “Di saat itu puncaknya berkebun dan bertani. Tidak ada lagi harapan mau ke mana,” katanya.

Setahun kemudian ia coba mendaftar jadi polisi dan lulus. Makmur ingat saat itu tahun 2001.

Ia bersyukur dan beruntung walau harus melego sepetak sawah milik keluarganya untuk bekal berjuang selama lima bulan menjalani tes di Makassar.

“Waktu itu uangku hanya 4 juta bro. Tapi, yaa saya rasa cukup juga,” ujar Makmur. “Tak ada dekkeng bosku. Siapa mau dekkeng, kita ini orang Mambi,” kisahnya, jujur.

Menerawang kembali ke masa kecilnya dulu di kampung Salubuah. Ia tak pernah bermimpi bisa sekolah di kota, apalagi masuk polisi.

Penempatan pertamanya di Polres Sidrap. Seiring Sulawesi Barat jadi Daerah Otonomi Baru (DOB) Makmur pun ikut pindah ke Polres Mamuju — daerah yang jadi ibu kota Provinsi Sulawesi Barat.

Dan, secara mengejutkan, pada 2018 Makmur berhasil menapak tangga yang tak gampang dengan mencapai perwira polisi.

Pada 2019 ia bertugas di Krimsus Polda Sulawesi Barat. Tahun 2022 ia dipercaya menjadi Kapolsek Sampaga, Kabupaten Mamuju.

Dari Sampaga ia mengatur waktu begitu rapi agar bisa sekolah magister. Yang dipilihnya adalah sekolah Strata Dua (S2) di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar.

Makmur lahir di kampung Salubuah pada 20 Januari 1980. Lahir dari sepasang Ayah-Ibu: Usman (Ayah) dan Tabada (Ibu). Kedua orangtua Makmur ini sudah menghadap Tuhan. Makmur tak kuasa mengingat dan mengisahkan jasa besar kedua orangtuanya itu dalam mendidiknya, menanamkan nilai-nilai baik yang ia bawa hingga bisa seperti sekarang.

Ia hanya bilang, “Semoga Allah SWT menempatkan keduanya di tempat terindah di alam sana.”

Makmur kini menjalani bahagia. Di sampingnya ada seorang istri bernama Andi Erna. Dari bersama kekasihnya ini, Tuhan karuniakan sepasang buah kasih: Andi Astriani Aninditha Makmur (20 tahun) dan Andi Muhammad Ghozali Makmur (17 tahun).

Kedua anaknya itu sudah beranjak dewasa dan telah punya kesibukan sendiri-sendiri. Anak pertamanya yang perempuan itu kini kuliah di Stikes Andini Mamuju. Dan Andi Ghozali sedang sekolah di SMK Rangas, Mamuju.

Dari Sampaga Makmur seolah dituntun nuraninya: kelak kembali ke kota. Dan itu benar.

Jika tak ada aral di akhir Februari ini ia akan menempati pos baru di tempat lamanya bertugas: Polres Mamuju.

Tapi kali ini jauh dari mimpinya. Menjadi pejabat kepolisian setingkat kepala satuan di level polres kota, terasa sumir baginya. Tapi begitulah. Inilah kenyataannya.

Tinggal berbilang hari Makmur, SH, MH akan menempati sebuah ruang di Polresta Mamuju sebagai Kasat Narkoba.

Sumringah Makmur saat ini, juga sebentuk pujian kita padanya. Secara manusiawi itu wajar. Tapi ia punya takaran yang sungguh mulia menjadi “orang yang punya nama” di sebuah lembaga yang beken: kepolisian RI.

Baginya sadar sepenuh-penuhnya. Tapi di balik dari itu ia bersenandung mulia: bahwa apalah arti gemerlap jabatan jika itu tak memberi efek baik dan amal bagi sesama — paling tidak bagi sekeliling di lingkup kita.

SARMAN SAHUDING

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini